Rabu, 30 Agustus 2017

What Is Leadership?

            Begitu konyol kepemimpinan sekarang ini, orang-orang masih saja berkelut dengan masalah-masalah sepele.  Bahkan ada yang menyepelekan sesuatu yang terpenting dalam kepemimpinannya. Bukankah suatu jabatan itu adalah sebagian dari tanggung jawab kita terhadap yang dipimpin? Dan bukanlah sebuah keistimewaan yang membawa gelar menuju kenikmatan melainkan gelar yang akan mengguyur ia dalam kenistaan ataupun kehinaan sepanjang hayat.


Dari cuplikan opini diatas apakah masih ada yang mau maju untuk menjadi seorang pemimpin? Yah, selama pemerintahan Nabi besar Muhammad Saw. Banyak dari kaum muslim berbondong-bondong meraih gelar sebagai seorang raja, yang kita kenal dalam institusi kita adalah Presiden, MPR, DPR, MA dan masih banyak lagi. Semua itu tercermin dari kepedulian kita terhadap Bangsa dan Negara, ditambah lagi pernyataan Sang Kuasa bahwa manusia dilahirkan sebagai khalifah fiil ‘ard. Titik inilah yang meyakinkan diri seseorang untuk tetap maju melangkah demi menjalankan amanah besar dari atasan maupun untuk membawa sebuah perubahan menuju kemaslahatan ummat.
pelatihan-leadership.blogspot.com
Satu rujukan yang penulis ingin ajukan kepada teman-teman. What is leadership? Pertanyaan ini slalu menjadi ulasan diberbagai pihak dalam perdebatan kepemimpinan. Beberapa orang memiliki pandangan tersendiri untuk menginterpretasikan arti sebuah kepemimpinan. Dalam hal ini, gerakan seorang pemimpin akan berpacu pada penafsiran kepemimpinan itu masing-masing. Disinilah letak perbedaan tiap pemimpin dalam menjalankan amanah yang secara sah diserahkan kepadanya. Mengenal arti dari kepemimpinan itu sendiri, Jhon C.Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.
Ada dua kata yang tidak lepas dari penjabaran Jhon C.Maxwell dalam hal kepemimpinan yaitu mempengaruhi dan mendapat pengikut, dalam penjabarannya memiliki implikasi khusus dalam keberlangsungan tanggung jawab seorang pemimpin diantaranya adalah:
o  Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan dan bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, tidak akan ada pemimpin.
o   Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his of herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
o    Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap betanggung jawab yang tulus (compassion), pengetahuan (gnosis), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.

Telah kita kenal berbagai macam prosesi kepemimpinan disetiap institusi, namun perlu halnya kita ketahui akan hakikat dari kepemimpinan itu adalah:
Pertama, tanggung jawab, bukan keistimewaan. Masih disayangkan jabatan seorang pemimpin menjadikannya lupa akan hakikatnya di bumi ini, sehingga tanggung jawab yang harus diemban berubah menjadi sebuah keistimewaan dengan bergelimang harta.
Kedua, pengorbanan, bukan fasilitas. Seorang pemimpin yang memiliki integritas terhadap dirinya untuk rela mengorbankan hak milik demi kesejahteraan rakyat. Serta merta menggunakan fasilitas yang memfasilitasinya sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, kerja keras, bukan berpangku tangan. Setiap orang memiliki kehidupan yang pasang surut, jika ia berusaha gigih untuk mencapai misinya, maka ia akan berada pada titik pencapaian misi itu begitupun sebaliknya. Pemimpin bukan berarti ia telah masuk area peristirahatan, melainkan kedudukan seorang pemimpin adalah awal dari kesuksesan yang ia raih.
Keempat, melayani bukan sewenang-wenang. Maukah kamu menjabat sebagai seorang pelayan? Tidak. Jelas, mayoritas warga Negara tidak suka dengan predikat sebagai pelayan, tapi mengapa mereka tetap saja memperebutkan kedudukan sebagai seorang pemimpin? Yang jelas, pemimpin adalah pelayan bagi negaranya. Inilah gambaran yang menimbulkan banyak pertanyaan bagi masyarakat.

Kelima, keteladanan atau kepeloporan, bukan pengekor. Akhir dari hakikat ini yang menjadi pokok perubahan yang akan didapatkan seorang pemimpin, jika ia mampu memberi keteladanan ataupun mempelopori keberlangsungan kekuasaan yang diemban, tanpa harus menjadi penguntit ditengah-tengah pemerintahannya. Ia harus berani untuk mencoba ide-ide yang menjadi langka dalam kepemerintahan seorang pemimpin. Dan perlu diingat, orang yang sukses akan melihat  kekurangan dirinya, dan berupaya untuk mengubah peradaban dunia dalam pola kepemimpinannya.

id.linkedin.com



Selasa, 08 Agustus 2017

Budaya Pesantren Sebagai Panutan


“Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia”.( Deddy Mulyana: Komunikasi Antarbudaya)

Dari kutipan di atas, Deddy Mulyanan  memaparkan berdasarkan realitas yang terjadi. Yaitu ketika budaya membentuk cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Begitupun budaya sangat berperan dalam pembantukan suatu wilayah maupun personalitas seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Termasuk di dalamnya system agama, bahasa, politik, pakaian, bangunan, karya seni dan berbagai macam system. Dan itu semua telah dibentuk oleh nenek moyang kita. Meskipun ada beberapa ragam budaya yang terbentuk oleh pemaduan antar budaya. Yang di kenal dengan budaya baru.

Terkadang tanpa kita sadari ritualitas keseharian kita di bentuk oleh budaya.  Sebagaimana, ketika saya memasuki wilayah pondok pesantren Nurul Jadid khususnya wilayah Al-hasyimiyah. Dimana ketika itu saya sama sekali belum diperkenalkan dengan apa yang dimaksud dengan pesantren maupun kegiatan-kegiatan apa yang menjadi prioritas utama dari sebuah pesantren?. Saya masuk sebagai anak itik yang mengikuti induknya. Maksudnya saya hanya mengikuti alur pesantren melalui kakak kelas “takhlidul-á’mââyaitu ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan kebenarannya. Saya menjadikan diri mereka sebagai panutan untuk melakukan kegiatan pondok, yang terkadang jalan buntu yang saya dapatkan. Ini disebabkan ketidak pahaman saya akan budaya pesantren.

Pesantren yang dikenal dengan kehidupan para wali, yaitu ritualitas yang ada di dalamnya mencerminkan kegiatan para wali Allah. Sebagaimana kyai yang menjadi pusat pembentuk akhlak para santrinya dan Masjid sebagai pusat ibadah para santri. Kyai dikenal sebagai Wali yang menuntun kaum Islam menuju surga-Nya, begitu pula Masjid adalah komponen dasar yang ada dalam pesantren. Tanpa adanya ke empat unsur yaitu: Kyai, santri, masjid dan pondok maka tidaklah ia disebut pesantren. Oleh karena itu, apabila ke empat unsur itu di gabungkan maka pesantren akan terbentuk. Dan sekarang pesantren menjadi pusat pendidikan di kalangan kaum Islam khususnya di Jawa Timur.

Di pesantren inilah saya menyadari akan pentingnya pengetahuan agama dibanding pengetahuan umum. Agama islam yang mengajarkan untuk bertahlîl, dhibå’, Qirõ’atul munjiyât dan beragam kegiatan lain, dan ini semua saya dapatkan di dunia pesantren. Yang telah membudaya di seantero pesantren-pesantren indonesia khususnya Jawa Timur.

Ketika saya cenderung masuk dalam dunia pesantren, saya baru mengenal serta mebedakan apa yang pantas di lakukan oleh seorang santri, dan itu semua mengubah pola pikir maupun tingkah saya dalam melakukan kegiatan-kegiatan. Sebagai contoh, ketika para santri menetapkan penggunaan sarung ke Mushallah, dengan sendirinya saya sedikit demi sedikit mengetahui kegunaan sarung sebagai “sucian” (di kenal dalam pesantren sebagai cap suci agar ibadahnya di terima di sisi Allah). Tak dapat dipungkiri jiwa kesederhanaan santri tercermin dalam kesehariannya menggunakan sarung. Dengan budaya sarung, seorang santri tanpa sadar ia telah masuk dalam keseharian-keseharian para wali.

 Dengan jiwa kesederhanaan yang dimiliki para wali, ia mampu menerima pemberian Allah dengan rasa syukur. Meskipun kekayaan telah dibentangkan di hadapannya seluas-luasnya. Namun apa yang terjadi? Para wali Allah tetap teguh pendiriannya untuk membela agam Allah yaitu Islam. Dengan jalan dakwah fîîsabîîlillah.




          Saya berharap kebudayaan yang ada di pondok pesantren ini, telah terpatri dalam jiwa saya dan jiwa Sahabat Pena. Dan mampu mempertahankannya untuk di bawa ke masyarakat sebagai pedoman menuju Islam kamil. Amin yaa Rabbal Alamin.