“Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia”.( Deddy Mulyana: Komunikasi Antarbudaya)
Dari kutipan di atas, Deddy
Mulyanan memaparkan berdasarkan realitas
yang terjadi. Yaitu ketika budaya membentuk cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Begitupun
budaya sangat berperan dalam pembantukan suatu wilayah maupun personalitas
seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Termasuk di dalamnya system
agama, bahasa, politik, pakaian, bangunan, karya seni dan berbagai macam
system. Dan itu semua telah dibentuk oleh nenek moyang kita. Meskipun ada
beberapa ragam budaya yang terbentuk oleh pemaduan antar budaya. Yang di kenal
dengan budaya baru.
Terkadang tanpa kita sadari
ritualitas keseharian kita di bentuk oleh budaya. Sebagaimana, ketika saya memasuki wilayah
pondok pesantren Nurul Jadid khususnya wilayah Al-hasyimiyah. Dimana ketika itu
saya sama sekali belum diperkenalkan dengan apa yang dimaksud dengan pesantren
maupun kegiatan-kegiatan apa yang menjadi prioritas utama dari sebuah
pesantren?. Saya masuk sebagai anak itik yang mengikuti induknya. Maksudnya saya
hanya mengikuti alur pesantren melalui kakak kelas “takhlidul-á’mââ”
yaitu ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan kebenarannya.
Saya menjadikan diri mereka sebagai panutan untuk melakukan kegiatan pondok,
yang terkadang jalan buntu yang saya dapatkan. Ini disebabkan ketidak pahaman
saya akan budaya pesantren.
Pesantren yang dikenal dengan
kehidupan para wali, yaitu ritualitas yang ada di dalamnya mencerminkan
kegiatan para wali Allah. Sebagaimana kyai yang menjadi pusat pembentuk akhlak
para santrinya dan Masjid sebagai pusat ibadah para santri. Kyai dikenal
sebagai Wali yang menuntun kaum Islam menuju surga-Nya, begitu pula Masjid
adalah komponen dasar yang ada dalam pesantren. Tanpa adanya ke empat unsur
yaitu: Kyai, santri, masjid dan pondok maka tidaklah ia disebut pesantren. Oleh
karena itu, apabila ke empat unsur itu di gabungkan maka pesantren akan
terbentuk. Dan sekarang pesantren menjadi pusat pendidikan di kalangan kaum
Islam khususnya di Jawa Timur.
Di pesantren inilah saya menyadari
akan pentingnya pengetahuan agama dibanding pengetahuan umum. Agama islam yang
mengajarkan untuk bertahlîl,
dhibå’, Qirõ’atul
munjiyât
dan beragam kegiatan lain, dan ini semua saya dapatkan di dunia pesantren. Yang
telah membudaya di seantero pesantren-pesantren indonesia khususnya Jawa Timur.
Ketika saya cenderung masuk dalam
dunia pesantren, saya baru mengenal serta mebedakan apa yang pantas di lakukan
oleh seorang santri, dan itu semua mengubah pola pikir maupun tingkah saya
dalam melakukan kegiatan-kegiatan. Sebagai contoh, ketika para santri
menetapkan penggunaan sarung ke Mushallah, dengan sendirinya saya sedikit demi
sedikit mengetahui kegunaan sarung sebagai “sucian” (di kenal dalam pesantren
sebagai cap suci agar ibadahnya di terima di sisi Allah). Tak dapat dipungkiri jiwa
kesederhanaan santri tercermin dalam kesehariannya menggunakan sarung. Dengan
budaya sarung, seorang santri tanpa sadar ia telah masuk dalam
keseharian-keseharian para wali.
Dengan jiwa kesederhanaan yang dimiliki para
wali, ia mampu menerima pemberian Allah dengan rasa syukur. Meskipun kekayaan
telah dibentangkan di hadapannya seluas-luasnya. Namun apa yang terjadi? Para
wali Allah tetap teguh pendiriannya untuk membela agam Allah yaitu Islam.
Dengan jalan dakwah fîîsabîîlillah.
Saya
berharap kebudayaan yang ada di pondok pesantren ini, telah terpatri dalam jiwa
saya dan jiwa Sahabat Pena. Dan mampu
mempertahankannya untuk di bawa ke masyarakat sebagai pedoman menuju Islam
kamil. Amin yaa Rabbal Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar