PERJUANGANMU, IBU
Probolinggo, 07 Oktober 2011
Probolinggo, 07 Oktober 2011
Ibuku
adalah pundak kesuksesanku. Dialah perempuan kuat yang telah memberi banyak
pelajaran berharga selama hidupku. Setiap kali aku mengeluh kepadanya,
pundaknya merupakan tumpuan tangisku. Satu kalimat yang selalu ia berikan
kepadaku “Sayang, segala sesuatu yang
ingin kita capai, apapun bentuknya, serahkan semuanya kepada-Nya”. Kalimat
itulah yang memotivasiku hingga aku tetap menempuh pendidikanku di desa
terpencil, Probolinggo-Jawa Timur.
Umur
Ibuku kini menginjak 42 tahun, kendati demikian, getir pahitnya kehidupan telah
membingkai dimemorinya. Cobaan yang dialaminya sudah mencapai titik klimaks.
Tatkala cobaan satu sudah dilalui, datanglah cobaan lainya. Setidaknya, itu
dapat dilihat dari rentetan sejarah hidupnya.
Cobaan
Pertama
Semuanya
bermula ketika aku masih duduk di kelas dua KMI (Kulliyatul Muallimat Al-Islamiyah). Waktu itu aku adalah
satu-satunya anak beruntung diantara saudara-saudaraku. Ayah dan Ibuku
menyekolahkanku di Pondok Modern Gontor Putri Empat yang letaknya di Kota
Kendari – Sulawesi Tenggara, itulah desaku. Keluargaku bukanlah termasuk orang
mampu dari segi Ekonomi, namun tekad kuat Ayah untuk menyekolahkanku di pondok
bergengsi sangat didukung oleh keluargaku, terutama Ibuku.
Gontor
merupakan pondok yang dikenal dengan disiplin ketat. Waktu itu, aku mendapat kabar dari Ibu, agar selalu berdo’a
atas penyakit yang mendera Ayah. Awalnya aku tidak mengerti dengan anjuran Ibu,
Ayah baru saja menjengukku sebulan lalu dalam keadaan sehat. Tapi, kenapa Ibu
memvonis Ayah sakit? Dan aku tidak tahu penyakit apa yang diderita Ayah.
Meskipun aku tidak mengerti dengan perintah Ibu, aku tetap melaksanakan
perintahnya. Yaitu membaca al-fatihah
sebanyak-banyaknya.
Berselang
dua minggu setelah kejadian itu. Atas perintah Ibu, aku dan ketiga saudaraku
harus menjenguk Ayah. Aku diberi waktu sehari untuk pulang, 24 jam itulah yang
membuatku tercengang atas apa yang diderita Ayah, beserta detik terakhirku
melihatnya.
Di rumah, Rabu 18 Maret 2009
Aku
dibawa keruang peristirahatan Ayah. Langkahku lunglai mendapati tubuh Ayah yang
sudah tidak normal. Ibuku setia berada disampingnya. Raut wajah Ibu begitu
tegar, aku sama sekali tidak mendapatkan bekas air mata dipipinya. Ibu
tersenyum ketika mendapatiku, ia rangkul tubuhku dengan penuh kasih sayang,
sembari menuntunku duduk disamping Ayah. Air mataku tidak bisa terbendung. Aku
menangis tanpa suara. Tanganku menggenggam tangan Ayah, Yah…..Ayah sa…kit apa? Kata itu tidak bias terkontrol. Tangisku
membuncah. Aku merangkul tubuh Ayah, mataku terarah melihat wajah Ibu. Wajahnya
begitu datar, aku tidak mendapati derita yang dialaminya. Dalam hati aku
memberontak. Kenapa Ibu baru memberitahu
keadaan Ayah? Ketika itu aku tidak mengerti, penyakit yang diderita Ayah.
Aku hanya melihat betapa susahnya Ayah bernafas dengan perut buncit. Begitu
kuat Ibu menyimpan penderitaan, itu.
Kesokan
harinya, aku kembali ke pondok. Deraian air mata menemani perjalanan pulangku.
Sepanjang itu pula aku meronta untuk tidak meninggalkan Ayah. Andai aku tahu,
waktu itu adalah terakhir kalinya aku menatap wajahnya. Aku tidak akan
mengambil tidakan ini – ke pondok. Air mataku terus berurai, sekali berkedip,
semakin tumpah ruah. Aku menyekanya dengan kerudungku. Sesampai di pondok, kaki
berjalan lunglai. Langkahku terarah ke bagian Pengasuhan, aku menghadap
Ustadzah untuk memberitahukan sampainya aku di pondok ini. Dan sekali lagi aku
tertunduk, sembari menyalami uluran tangannya. Mataku berkaca-kaca, genangan
air mata seketika itu tumpah ruah. Aku menangis kesekian kalinya. “U….stadzah? A…Ayah sa…kit?!”, ucapku
terbata, tanganku menggenggam tangannya. Kepalaku kusandarkan kepangkuannya.
Aku terisak. “Elfa, tetap sabar yah!
Serahkan semuanya kepada Allah. InsyaAllah Ayah Elfa cepat sembuh”, Ustadzah
menenangkanku dengan elusan tangannya di pundakku. “Ta…tapi Ayah sa…kit parah, Ustadzah”, suaraku serak. Tangisku
membuncah, sesekali sesegukan. “Iyah,
Ustadzah tahu. Sekarang Elfa ke kamar dan istirahat biar tenang”. Sedikit
aku merasa lega.
Di rumah, Jum’at 20 Maret 2009
Hari
itu, dimana penopang keluargaku, Ayah. Pulang kehadirat Allah Swt. Selama itu
pula, aku tidak menemui butiran air mata di pipi Ibu, bahkan bekasnyapun tiada.
Ia duduk bersila dihadapanku, tepat di hadapan jasad Ayah. Bibirnnya terangkat
mengukir senyuman, dikala ada peziarah menengok jasad Ayah. Seluruh keluargaku
dirundung pilu, terutama Nenek. Ia trauma atas apa yang menimpanya. Sama halnya
yang menimpa Ibu, sekarang!. Kehilangan suami di usia muda, dengan anak-anak yang
masih sekolah. Dan itu dialami Ibu sekarang, anak sulungnnya.
Cobaan
kedua
Setahun
kemudian
Ujian
yang diderita Ibu tidak sampai disitu. Setelah kehilangan suami, Ibu memutuskan
beragam keputusan demi melanjutkan kehidupan kami di masa depan.
Aku
telah lulus menjadi alumni Pondok Modern Gontor, meski tanpa Ayah disampingku.
Asal kalian tahu, Ibu buatku Ayah sekaligus Ibuku. Ia tetap menyekolahkan kami
ber-empat. Cobaan berikutnyapun tiba, Nenekku trauma atas apa yang menimpa Ibu.
Akhirnya, ia terbaring takberdaya selama setahun. Ibu merawatnya
sebagaimana seorang Ibu merawat anaknya. Menurut Ibu “Inilah jalan agar Ibu berbakti kepada Nenek”. Setiap kali Nenek
terbangun, matanya selalu menatap kosong ke langit-langit. Hidupnya seakan
tidak bergairah. Sampai akhirnya tubuh Nenek rapuh. Tubuhnya begitu ringkih,
yang awalnya, Nenek adalah orang yang sangat menjunjung tinggi kesehatan. Tidak
heran tubuh Nenek dulu sangat segar. Sekarang berbanding terbalik 360º. Melihat
itu semua, pipiku sembap oleh air mata. Aku dikagetkan dengan peristiwa kedua.
Bagaiman tidak, dalam kurun waktu setahun aku meninggalkan rumah. Aku
mendapatkan keanehan berikutnya.
Ramadhan
ke-15, 2010
Tepat
Pukul 09.15 pagi, Nenekku menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu menuntunnya
mengucapkan kalimat syahadat, takbir, dan hawqolah. Aku melirik wajah Ibu,
sedikitpun untuk yang kedua kalinya aku tidak melihat air mata. Sedang aku
berteriak histeris melihat kepergian Nenek di hadapanku. Keluargaku berkabung
kembali. Belum genap hari ke seribu Ayah,
Nenekku menyusul dikebumikan. Kata tetanggaku “Sungguh kasihan keluarga mereka, kuburan satu belum kering, disusul
kuburan berikutnya”. Ibuku tidak memedulikan apa kata orang, ia tetap
memandang ini sebuah rencana Tuhan untuk mengangkat derajat hamba-Nya sebagai
kekasih-Nya.,
Cobaan
ketiga
aku
mengenal Ibu lebih dari yang aku bayangkan. Ibu berhati murni, sangat jernih
dibandingkan air telaga. Aku beranggapan seperti itu, karena tindakannya
membantu oranglain. Ibu menggadaikan rumah masa depanku, demi membantu orang
itu. Sebut saja Sarah. Sarah berjanji akan membantu usaha Ibu membuka rumah
makan, kebetulan ia sangat pawai dalam hal memasak. Tapi semua itu bersyarat. Sarah meminta pinjaman modal,
rumah itulah pinjaman berharga yang Ibu berikan kepada Sarah. Kata Ibu “Siapapun yang mau membantu kita, Nak. Maka
Ibu tidak segan-segan memberikan yang Ibu miliki untuknya, dengan syarat ia
ikhlas. Ibu bisa melihatnya di mata Sarah”.
Air
susu dibalas air tuba, itulah yang dilakukan Sarah kepada Ibuku. Setelah ia
menggadaikan rumah milikku. Ia berjanji akan mencicil uang tagihan di Bank tiap
bulannya. Memang, selama tiga bulan ia masih memegang janji itu, namun bulan
berikutnya?. Tahukan kalian apa yang dilakukan Sarah terhadap Ibuku?. Ia lari
dari janji manisnya, entah kemana, akupun tidak tahu. Ibu panik mengetahui hal
itu. Aku menenangkannya. Sampai akhirnya Ibu pasrah “Sayang, maafkan Ibu! Rumah satu-satunya warisan Ayah mungkin bukan
rezeki kita”. Akupun mengangguk mengiyakan.
Itulah
deretan cobaan Allah kepada Ibuku. Dalam kurun waktu dua tahun Ibu
terombang-ambing oleh peristiwa kehidupan. Sungguh aku kagum melihatnya, sangat
besar perjuanganmu, Ibu. Dalam hati aku menjerit “Iiiii….buuu….. aku ingin sepertimu! Yang kuat menghalau badai, yang
tegar menghadapi rintangan, dan sabar atas pemberian Tuhan kepadanya”. Ibu
engkaulah panutanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar